Politik uang
adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang
itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya
dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan
menggunakan uang atau barang. Politik uang
adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya
dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang
hari H pemilihan umum. Praktik politik
uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras,
minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati
masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Uang politik adalah uang yang di
perlukan secara wajar untuk mendukang operasioanalisasi aktifitas-aktifitas
yang di lakukan oleh peserta pilkada. contohnya biaya administrasi pendaftaran
pasangan kandidat, biaya operasioanal kampanye pasangan kandidat, pembelian
spanduk dan stiker dan lain sebagainya. Secara sadar sebenarnya ada keinginan
untuk menghapus politik uang dalam pilkada,dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah yang menjadi landasan normatif bagi penerapan
pilkada secara langsung telah membuat sistem pemerintahan di daerah
seharusnyasemakin demokratis karena rakyat dapat menentukan siapa yang paling
di sukainya.
Permasalahan
klasik dalam setiap pemilihan pemimpin, termasuk pemimpin daerah adalah adanya
praktik politik uang sebagai salah satu strategi yang ditempuh oleh para
calon/pasangan calon atau tim kampanye setiap pasangan caon untuk memenangkan
pertarungan politik dengan cara menggunakan uang, baik secara komponen
pembiayaan dalam kampanye, jasa para aksi, maupun pemberian bantuan kepada
kelompok masyarakat tertentu, seperti bantuan rumah ibadah, biaya
pembuatan/perbaikan jalan lingkungan/pemukiman dan lain-lain, bahkan ada
pasangan calon yang secara terang-teranga membagi-bagikan uang kepada
masyarakat secara individu. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku elite politik di
daerah masih berorientasi pada pola pikir orde baru, bahkan lebih transparan
lagi dalam menggunakan uang sebagai alat pencapaian tujuan politik yang
sifatnya tentatif dan lebih bernuansa kepentingan pribadi dan golongan.
Momentum kemiskinan dan keterbelakangan dalam pembangunan dimanfaatkan dalam
tidak bertanggung jawab oleh para pasangan calon kepala daerah untuk meraih keuntungan
pribadi dan golongan.
Pemilihan Umum
(PEMILU) ataupun PILKADA merupakan wujud dari pesta Demokrasi, dimana pada saat
itu rakyat terlibat langsung dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam
kitab Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 22 E ayat (2)
dikatakan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari penjelasan di atas kita bisa tafsirkan
bahwa dalam Pemilhan Umum kita pada saat itu akan memilih wakil wakil rakyat
yang akan menyelenggarakan pemerintahan.
Namun penerapan
demokrasi itu sendiri seringkali dinodai dengan penyimpangan-penyimpangan pada
proses demokrasi (Pemilihan Umum) antara lain adanya praktik Money
Politics (Politik Uang). Salah satu usaha yang dilakukan oleh para
kandidat maupun partai politik dalam pemilihan umum (mulai dari pemilihan
Kepala Desa, Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Anggota DPRD, Pemilihan Anggota
DPR bahkan hingga pemilihan Presiden) agar memenangkan perolehan suara di
pemilihan menggunakan cara yang kotor, cara kotor tersebut yaitu dengan
transaksi jual beli suara atau dikenal dengan istilahmoney politics.
Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan. Persoalan yang terkesan remeh namun memiliki
implikasi negatif yang sangat besar bagi perkembangan demokrasi dan penegakan
hukum di Indonesia. Politik uang membuat proses politik menjadi bias.
Akibat penyalahgunaan uang, pemilu sulit menampakkan ciri kejujuran, keadilan
serta persaingan yang fair. Pemilu seperti itu akhirnya menciptakan pemerintah
yang tidak memikirkan nasib dan kesejahteraan rakyat. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pun menegaskan bahwa politik uang dapat merusak demokrasi,
mengkhianati kepercayaan publik dan akan melahirkan demokrasi palsu.
“Barang siapa
pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan
pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan
haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu,
dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu
dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji
berbuat sesuatu.” — Pasal 73 ayat 3 UU Pemilu No.3/1999. “Pelaksana peserta
atau petugas kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada peserta pemilu” – Pasal 84, Ayat 1 Huruf J, UU Pemilu No.10
Tahun 2008.
“Setiap orang yang
dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada
seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon
tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat
suaranya tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan
dan /atau denda paling sedikit Rp satu juta rupiah (1.000.000)” – UU Pilkada
No.32 Pasal 117 Tahun 2004.
Pasangan calon yang
terbukti terlibat politik uang dinyatakan gugur sebagai calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dan tidak dapat dipilih kembali pada pemilihan
ulang. Pembatalan ditetapkan dalam berita acara yang akan dikeluarkan oleh
panitia pemilihan. Pemberi dan/atau yang mnerima dalam praktek poitik uang
dikenakan ancaman sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 1980
tentang Tindak Pidana Suap.
Saat ini karakter sebagain besar manusia
Indonesia sudah berada pada titik nadir moralitas karena digerus oleh politik
uang, ujungnya menghamba pada daulat uang. Akibatnya sangat memiriskan, dimana
uang menjadi parameter given dalam segala bentuk interakasi sosial.
Sehingga tercipta-lah lingkaran setan korupsi. Karena uang yang sudah digelontorkan
tidak cukup dikembalikan dengan gaji, maka jalan Korupsi dan Kolusi (KK)
menjadi pilihan yang “tepat” untuk mengembalikan uang tersebut. Sesungguhnya,
embrio kejahatan korupsi yang menggerus martabat bangsa ini adalah akibat dari
mengguritanya politik uang. Bahkan infrastruktur publik yang cepat rusak,
pejabat negara yang tidak kompoten, kebijakan yang tidak tepat sasaran dan
kompromi politik para elit, semua itu adalah sebagai akibat lingkaran setan
politik uang. Sehingga tidak ada asas integritas, kredibilitas dan
profesionalitas disana. Namun yang menjadi indikator adalah seberapa besar
fulus yang datang menghampiri. Selagi money
politic masih bercokol dan
terintegrasi dalam benak manusia Indonesia, maka lingkaran setan korupsi masih
tetap menjadi primadona.
DAFTAR PUSTAKA
Bartakusumah, Dadang. 2001. Otonomi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Umum
Firman, dkk. 2007.Jurnal penelitian
politik: Demokrasi mati suri. Jakarta: Pustaka Pelajar
Faris
Nadisa Rahman, dkk. 2010. Makalah: Persepsi Pengaruh Money Politic dan Jaringan
Sosial terhadap Perilaku Pemilih pada Kemenangan Pasangan Calon Kemenangan
Pasangan Calon dr. Hj. Widya Kandi Susanti, MM dan wakilnya H. Mukh
Mustamsikin, S.Ag, M.SI., (YAKIN) Studi Kasus Pemilukada kab.Kendal tahun
2010.Semarang : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro.
Rosya, Sabilal. 2009. Tesis: Praktek Money Politic Dalam Pemilu
Legislatif di Kabupaten Pekalongan
Bimbi aurelius. 2013. Politik
Uang Dalam Partai Politik Sangat Buruk Pada Saat Pemilu.
http://politik.kompasiana.com/2013/10/30/politik-uang-dalam-partai-politik-sangat-buruk-pada-saat-pemilu-603840.html (online diambil pada tanggal 5
april 2014. Jam 7.20)